Senin, 22 Desember 2008

Kapan Perjanjian Kawin Dibuat

7. KAPANKAH PERJANJIAN PERKAWINAN
DAPAT DIBUAT ?
A. PENDAHULUAN
Dalam kehidupan perkawinan pengaturan harta perkawinan tidak begitu mendapat perhatian oleh pasangan suami-isteri, bahkan menganggapnya sesuatu yang dapat mencederai mahligai perkawinan yang bersangkutan, jika harta perkawinan diatur secara tertulis1 dalam bentuk Perjanjian Perkawinan2. Harta perkawinan menjadi persoalan jika mereka bercerai. Artinya ketika akan bercerai atau setelah bercerai, mulai dipikirkan dan ditentukan bagaimana harta perkawinan akan diatur, padahal sebenarnya pengetahuan pengaturan mengenai harta perkawinan perlu diketahui oleh mereka yang akan menikah atau mereka yang telah menikah, bukan diketahui dan diperlukan ketika akan bercerai. Dalam kaitan ini G.W. Patton menyebutkan In marriage, so long as love persist, there is little need of law to rule the relation between husband and wife – but the solicitor comes in through the door as love flies out of the window3.
Sejak berlakunya Undang-undang nomor 1 Tahun 1974 tentang
1 Bagi masyarakat Indonesia tidak begitu familiar untuk mengatur harta masing-masing (calon suami-isteri) dalam sebuah Perjanjian Perkawinan, hal tersebut dapat dimengerti karena lembaga Perkawinan merupakan sesuatu yang sakral yang tidak hanya menyangkut aspek hukum saja tapi juga menyangkut aspek religius, sehingga membuat perjanjian seperti itu dianggap dapat menodai kesakralan perkawinan. Tapi meskipun demikian UUP telah memberikan peluang bagi mereka yang mau mengaturnya.
2 -Perjanjian Perkawinan adalah perjanjian yang dibuat oleh (calon) suami – isteri untuk mengatur akibat-akibat perkawinan mengenai harta kekayaan yang diperoleh selama perkawinan.
-Dalam KUHPerdata diketahui adanya 2 (dua bentuk) Perjanjian Perkawinan, yaitu : (1). Persatuan untung rugi (gemeenschap van winst en verlies) dan (2). Persatuan hasil dan pemasukan (gemeenschap van vruchten en inkomsten).
3 G.W. Patton, A Texbook of Jurisprudence, Oxford at the Clarendon Press, Second Edition, 1951, hal. 53. - 145 -
Perkawinan (UUP), maka di negara kita telah terjadi unifikasi4 dalam bidang Hukum Perkawinan, kecuali sepanjang yang belum/tidak diatur dalam undang-undang tersebut, maka peraturan lama dapat dipergunakan (Pasal 66 UU nomor 1/1974).
Meskipun undang-undang tersebut mengatur tentang Perkawinan, tapi jika lebih jauh substansinya tidak melulu mengenai Perkawinan tapi juga mengenai hal-hal yang berkaitan dengan Perkawinan atau segala akibat hukum yang berkaitan dengan sebuah Perkawinan, bahkan lebih tepat dapat dikategorikan sebagai Hukum Keluarga5.
Perkawinan menurut UUP tersebut tidak hanya memandang Perkawinan dari segi hubungan keperdataan saja, tapi juga memberikan legalitas dari segi agama dan kepercayaan masing-masing calon suami isteri (Pasal 2 ayat 1 UUP).
Adanya legalitas Perkawinan dari segi agama dan hukum administrasi (pencatatan di instansi yang berwenang, Pasal 2 ayat 1 UUP) harus dibaca dalam satu tarikan nafas, artinya sah menurut hukum agama dan sah menurut hukum
4 -Menurut Hazairin Undang-undang Perkawinan ini sebagai suatu unifikasi yang unik dengan menghormati secara penuh adanya variasi berdasarkan agama dan kepercayaan yang ber "Ketuhanan Yang Maha Esa". Hazairin dalam K. Wantjik Saleh, Hukum Perkawinan Indonesia, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1982, hal. 3.
-Menurut R. Soetojo Prawirohamidjoyo, bahwa Undang-undang nomor 1/1974 tersebut belum mencerminkan cita-cita unifikasi hukum nasional dalam bidang Perkawinan karena Undang-undang tersebut berdasarkan Pasal 66 masih memberlakukan ketentuan-ketentuan lama tentang Perkawinan sepanjang belum atau tidak diatur dalam Undang-undang Perkawinan". R. Prawirohamidjoyo, Pluralisme Dalam Perundang-undangan Perkawinan Di Indonesia, Airlangga University Press, Surabaya, 1994.
-Menurut Undang-undang Nomor 25 Tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional (PROPENAS) Tahun 2000-2004, bahwa Undang-undang Perkawinan merupakan salah satu undang-undang yang akan disempurnakan yang harus diselesaikan maksimal tahun 2004, tapi ternyata sampai dengan tahun 2006 hal tersebut belum dapat diselesaikan.
5 J. Satrio, Hukum Harta Perkawinan, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1991. hal. 4.
- 146 -
negara pada saat yang serempak. Tapi dalam praktek hal tersebut dapat terjadi tidak pada saat yang bersamaan, artinya ada tenggang waktu yang lama antara perkawinan yang telah dilangsungkan menurut hukum agama dan kepercayaan dengan pencatatan atau dicatat pada instansi yang berwenang. Atau dalam kalimat yang lain, misalnya jika ternyata menurut agama dan kepercayaannya mereka telah kawin dua tahun yang lalu kemudian dicatatkan pada instansi yang berwenang setelah dua tahun perkawinan berjalan.
Secara sepintas hal tersebut tidak menjadi masalah yang rumit, bahkan dianggap suatu hal yang biasa dalam masyarakat kita. Tapi hal tersebut akan menjadi masalah dari segi hukum, jika setelah mereka kawin (dan sesuai Pasal 2 ayat 1 UUP) ternyata mereka berkeinginan untuk membuat Perjanjian Perkawinan .
Dari kejadian tersebut timbul pertanyaan dapatkah pasangan tersebut membuat Perjanjian Perkawinan dan kemudian dicatatkan pada instansi yang berwenang dengan alasan perkawinan belum dicatatkan berdasarkan Pasal 2 ayat 2 UUP ?.
B. PENGATURAN PERJANJIAN PERKAWINAN MENURUT KUHPERDATA DAN UNDANG-UNDANG PERKAWINAN.
Menurut Pasal 147 KUHPerdata bahwa Perjanjian Perkawinan harus dibuat sebelum perkawinan dilangsungkan dan perjanjian tersebut harus dibuat di hadapan Notaris, jika tidak dilakukan di hadapan Notaris, maka perjanjian tersebut batal Dan menurut Pasal 149 KUHPerdata bahwa setelah Perkawinan berlangsung dengan cara bagaimanapun Perjanjian Perkawinan tidak boleh diubah.. Berdasarkan subtansi Pasal 147 KUHPerdata tersebut di atas sudah jelas bahwa Perjanjian Perkawinan dibuat pada waktu sebelum atau sesaat sebelum perkawinan dilangsungkan dengan lain kata Perjanjian Perkawinan tidak dapat dibuat setelah perkawinan berlangsung.
Sedangkan Perjanjian Perkawinan dalam UUP diatur pada saat Pasal 29
- 147 -
ayat 1 yang menegaskan bahwa perjanjian dibuat pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan. Dari kalimat tersebut timbul permasalahan pada waktu atau sebelum perkawinan Perjanjian Perkawinan dapat dibuat dan disahkan..
Sebagaimana terurai di atas, jika sebuah perkawinan telah dilaksanakan sesuai dengan Pasal 2 ayat (1) UUP, tetapi belum ada tindak lanjut berdasarkan Pasal 2 ayat (2) UUR.Dapatkah suami-isteri yang telah lama kawin berdasarkan Pasal 2 ayat (1) UUP tersebut membuat Perjanjian Perkawinan dan dicatatkan di instansi yang berwenang dengan alasan perkawinan tersebut perkawinan belum dicatatkan berdasarkan Pasal 2 ayat (2) UUP ?.
Hal seperti dapat muncul dalam praktek, karena substansi Pasal 2 ayat (1 dan 2) jo Pasal 29 UUP yang memungkinkan kejadian seperti terurai di atas timbul..
Terhadap Permasalahan tersebut ada 2 (dua) kemungkinan jawaban, yaitu :
1. Bahwa suami-isteri tersebut tidak dapat Perjanjian Perkawinan, karena Perkawinan mereka telah berlangsung dan juga perkawinannya telah sah berdasarkan Pasal 2 ayat (l)UUP, sedangkan pencatatan hanya tindakan administrasi saja (Pasal 2 ayat 2 UUP).
2. Bahwa suami-isteri tersebut masih dapat membuat Perjanjian Perkawinan dan dicatatkan (disahkan) pada instansi yang berwenang, dengan asumsi bahwa sahnya perkawinan menurut Pasal 2 ayat 1 dan 2 dilakukan secara bersamaan (tidak ada tenggang waktu yang lama). Oleh karena perkawinan baru dilakukan berdasarkan Pasal 2 ayat 1 UUP saja maka secara formal perkawinan belum sempurna (belum dipenuhi), sehingga dengan demikian mereka dapat membuat Perjanjian Perkawinan.
Terhadap jawaban yang pertama dapat diberikan penjelasan, oleh karena kita mengganggap perkawinan telah sah menurut agama dan kepercayaannya, dan perkawinan telah berlangsung lama, maka apapun alasannya (pencatatan
- 148 -
hanya tindakan administratif saja), maka Perjanjian Perkawinan tidak dapat dibuat dan tidak dapat dicatatkan pada instansi yang berwenang.
Terhadap pertanyaan yang kedua, jika kita mengasumsikan bahwa Perkawinan telah sah secara substansi, tapi secara segi formal belum dicatatkan, maka Perjanjian Perkawinan dapat dibuat dan disahkan/dicatatkan, hal tersebut sesuai dengan isi Pasal 29 UUP bahwa Perjanjian Perkawinan dicatat/disahkan pada saat perkawinan dicatat/disahkan di instansi yang berwenang.
C. DAPATKAH MEREKA YANG TELAH MELANGSUNGKAN PERKAWINAN SESUAI DENGAN PASAL PASAL 2 AYAT (1 DAN 2) UUP MEMBUAT PERJANJIAN PERKAWINAN ?
Menilik Pasal 147 KUHPerdata dan Pasal 20 UUP telah menegaskan bahwa Perjanjian Perkawinan hanya dapat dibuat sebelum perkawinan dilangsungkan atau dengan kata lain tidak diperbolehkan membuat Perjanjian Perkawinan setelah perkawinan dilangsungkan. Jika kejadian seperti itu datang kepada kita sebagi Notaris, sudah pasti kita akan menolak dengan alasan berdasarkan kedua pasal tersebut di atas.
Dengan tetap berpegang kepada substansi kedua pasal tersebut, sampai kapanpun, kita akan tetap menolaknya, tapi dilain sisi dapatkah Notaris membuat terobosan bahwa Perjanjian Perkawinan dapat dibuat setelah perkawinan berlangsung ?.
Hal tersebut terkait dengan fungsi Notaris di era sekarang ini, yang bukan hanya mencatat dan membuat akta dari para pihak saja, tapi juga setidaknya dapat member ikanjalan keluar ataupun "penemuan hukum" atas suatu permasalahan hukum melakukan "ijtihad" atau bisajuga Notaris harus menjadi agen perubahan dalam bidang hukum (change agent of law).
Oleh karena itu, meskipun kedua pasal tersebut melarangnya, tapi untuk mengikuti perkembangan yang ada, maka dapat saja kita membuat Perjanjian Perkawinan bagi/untuk mereka yang telah melangsungkan perkawinan sesuai dengan Pasal 2 ayat (1 dan 2) UUP.
- 149 -
Hal itu dapat dilakukan setelah para pihak (suami-isteri) terlebih dahulu mengajukan permohonan ke pengadilan negeri setempat agar diizinkan untuk membuat Perjanjian Perkawinan, setelah izin tersebut diperoleh kemudian harus diumumkan pada surat kabar yang beredar secara nasional minimal selama 1 (satu) minggu secara berturut-turut, dan j ika tidak ada klaim dari pihak ketiga, maka dengan bukti-bukti tersebut para pihak dapat datang ke Notaris untuk membuat Perjanjian Perkawinan. Kemudian akta Perjanjian Perkawinan tersebut dicatatkan di instansi yang bersangkutan.
D. PENUTUP
Dalam kehidupan zaman milenium ini, banyak terjadi ketika wanita dan laki-laki sebelum menikah telah mempunyai pekerjaan atau punya penghasilan sendiri. Dalam Perjalanan karirnya ternyata mereka meraih sukses, sehingga baik isteri maupun suami dapat membeli harta benda sendiri-sendiri dan atas nama sendiri, dan mereka ingin hasil jerih payahnya tidak ingin "direcoki" oleh orang lain, namun biaya rumah tangga ditanggung secara bersama-sama.
Dalam praktek jarang calon pasangan suami-isteri ketika mau menikah dengan kondisi seperti tersebut di atas untuk sepakat membuat Perjanjian Perkawinan. Pengaturan harta yang diperoleh masing-masing pihak sebelum perkawinan atau yang akan diperoleh selama perkawinan belum "familiar" bagi masyarakat Indonesia dengan kata lain belum "living law". Meskipun demikian tidak menutup kemungkinan mereka untuk membuat Perjanjian Perkawinan sebagai upaya untuk menjaga dan menghargai "hasil keringat masing-masing", Saya pikir hal seperti jika dilihat dari perpektif "gender" dan "Hak Asasi Manusia" dapat diterima.
----------------------
- 150 -
DAFTAR BACAAN.
G.W. Patton, A Texbook of Jurisprudence, Oxford at the Clarendon Press, Second Edition, 1951.
J. Satrio, Hukum Harta Perkawinan, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1991.
K. Wantjik Saleh, Hukum Perkawinan Indonesia, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1982
R. Prawirohamidjoyo, Pluralisme Dalam Perundang-undangan Perkawinan Di Indonesia, Airlangga University Press, Surabaya, 1994.
-----------------------
- 151 -

Tidak ada komentar:

Posting Komentar