Senin, 22 Desember 2008

Perjanjian Kawin

RESUME TENTANG PERJANJIAN KAWIN
MATA KULIAH HUKUM KELUARGA DAN KEKAYAAN PERKAWINAN

Sebelum berlakunya Undang-undang nomor: 1 Tahun 1974, Perjanjian Kawin diatur dalam pasal 119 BW/KUHPerdata. Dimana Kedua Undang-undang ini mempunyai pendekatan asas yang berbeda mengenai harta dalam perkawinan.
Menurut KUHPDT mengatur “azas percampuran bulat” sebagaimana dinyatakan dalam pasal 119 KUHPDT, yang berarti bahwa kekayaan suami istri yang dibawanya ke dalam perkawinan itu dicampur menjadi satu menjadi harta persatuan, harta kekayaan mereka bersama. Berdasarkan pasal 119 BW dan pasal 29 UUP No.1 Tahun 1974 kedua asas itu bisa dilakukan penyimpangan, dengan membuat Perjanjian Kawin. Perjanjian Kawin harus dibuat dengan suatu akta notaris sebelum waktu dilangsungkannya perkawinan, untuk kemudian didaftarkan ke Pengadilan negeri setempat.
Ketentuan Pasal 139 KUHPDT menyatakan bahwa:
“ Para calon suami isteri dengan peranjian kawin dapat menyimpang dan peraturan undang-undang mengenai harta bersama asalkan hal itu tidak bertentangan dengan tata susila yang baik atau dengan tata tertib umum”
Ketentuan Pasal 140 KUHPDT menyatakan bahwa:
Perjanjian itu tidak boleh mengurangi hak-hak yang bersumber pada kekuasaan si suami sebagai suami, dan pada kekuasaan sebagai bapak, tidak pula hak-hak yang oleh undang-undang dibenikan kepada yang masih hidup paling lama.
Demikian pula perjanjian itu tidak boleh mengurangi hak-hak yang diperuntukkan bagi si suami sebagai kepala persatuan suami isteri; namun hal tersebut tidak mengurangi wewenang isteri untuk mensyaratkaƱ bagi dirinya pengurusan harta kekayaan pribadi, baik barang-barang bergerak maupun barang-barang tak bergerak di samping penikmatan penghasilannya pnbadi secara bebas.
Mereka juga berhak untuk membuat perjanjian, bahwa meskipun ada golongan harta bersama, barang-barang tetap, surat-surat pendaftaran dalam buku besar pinjamanpinjaman negara, surat-surat berharga lainnya dan piutang-piutang yang diperoleh atas nama isteri, atau yang selama perkawinan dan pihak isteri jatuh ke dalam harta bersama, tidak boleh dipindahtangankan atau dibebani oleh suaminya tanpa persetujuan si isteri.
Adapun Syarat-syarat dan ketentuan-ketentuan dalam pembuatan Perjanjian Kawin adalah:
PISAH HARTA
Antara suami isteri tidak akan ada persekutuan harta benda dengan nama atau sebutan apapun juga, baik per-sekutuan harta benda menurut hukum atau persekutuan untung dan rugi maupun persekutuan hasil dan pendapatan.
H A R T A
Semua harta benda yang bersifat apapun yang dibawa oleh para pihak dalam perkawinan, atau yang diperoleh-nya selama perkawinan karena pembelian, warisan, hibah dan atau dengan cara apapun juga tetap menjadi milik dari para pihak yang membawa dan atau yang memper-olehnya.
BUKTI PEMILIKAN
1. Barang-barang bergerak yang oleh para pihak didapat dari dan oleh sebab apapun juga sesudah perkawinan dilang-sungkan, wajib dibuktikan dengan bukti pemilikan dengan tidak mengurangi hak pihak kedua, untuk membuktikan adanya barang-barang atau harganya, sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 166 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
2. Barang-barang tidak bergerak, yang tidak dapat dibuk¬tikan dengan bukti pemilikan atau surat-surat lainnya oleh salah satu pihak, dianggap sebagai kepunyaan para pihak, masing-masing untuk 1/2 (setengah) bagian yang sama besar
Perjanjian Kawin mulai efektif berlaku bagi pasangan suami istri setelah dilangsungkannya perkawinan, sedangkan untuk pihak ketiga baru berlaku mulai hari pendaftannya di Pengadilan Negeri dan tidak bias dirubah selama perkawinan berlangsung.
HARUS DIIKUTI DENGAN PERKAWINAN. Perjanjian Kawin tidak akan berlaku jika tidak diikuti dengan perkawinan (154 BW).
KECAKAPAN MEMBUAT PERJANJIAN KAWIN. Yang dapat membut Perjanjian Kawin adalah mereka yang mempunyai syarat untuk menikah pada waktu perjanjian itu dibuat (pasal 7 UU 1/1974: pria 19 tahun, wanita 16 tahun) dan yang berada di bawah pengampuan harus dibantu oleh mereka yang diperlukan ijinnya untuk melangsungkan pernikahan (151 dan 151 BW).
ISI PERJANJIAN KAWIN. Isi Perjanjian Kawin terserah kepada dua belah pihak, asal saja tidak bertentangan dengan ketertiban umum dan kesusilaan, dan selain itu juga tidak boleh menyimpang dari ketentuan-ketentuan dalam pasal 140, 142 dan 143 BW. Isi dari Perjanjian Kawin yang dilarang adalah:
1. Mengurangi hak suami baik sebagai suami maupun sebagai kepala (persatuan)
rumah tangga. (140.1 BW)
2. Menyimpang dari hak-hak yang timbul dari kekuasaan sebagai orang tua
(140.1 BW).
3. Mengurangi hak-hak yang diperlukan UU kepada yang hidup terlama (140.1
BW).
4. Melepaskan haknya sebagai ahliwaris menurut hukum dalam warisan anak-
anaknya atau keturunannya (141).
5. Menetapkan bahwa salah satu pihak menanggung hutang lebih banyak dari
pada bagiannya dalam keuntungan (142 BW). (Bila hal ini dilanggar maka
apa yang diperjanjikan itu dinggap sebagai tidak tertulis, sehingga masing-
masing akan menerima ½ bagian dari keuntungan dan memikul ½ bagian
dari kerugian).
KEKUASAAN SUAMI. Suami adalah kepala persatuan rumah tangga dan mengemudikan urusan harta kekayaan milik pribadi istrinya (pasal 105 BW). Tanpa adanya Perjanjian Kawin, maka terjadilah persekutuan harta antara suami-istri, dengan suami memegang kekuasaan sebagai suami dan sebagai kepala persekutuan rumah tangga. Meskipun demikian, dan kendati dikehendaki adanya persatuan harta, dengan suatu Perjanjian Kawin dapat diadakan penyimpangan untuk “mengurangi” kekuasaan suami tersebut, sehingga istri dalam hal harta benda perkawinan mempunyai lebih besar kekuasaan/ kebebasan.
Dalam hal tersebut dapat diadakan 2 penyimpangan:
1. Pasal 140 ayat 2 BW. Yaitu dapat diperjanjikan bahwa si istri akan tetap
mengurus harta bendanya sendiri baik bergerak maupun tidak bergerak, dan
menikmati sendiri segala pendapatan pribadinya. (d.h.i : hanya tindakan
pengurusan, bukan tindakan pemilikan).
2. Pasal 140 ayat 3 BW. Yaitu bahwa barang-barang tidak bergerak, surat
berharga serta piutang atas nama yang tercatat atas nama istri, baik yang
dibawa pada waktu perkawinan maupun yang dimasukkannya selama
perkawinan, tidak boleh dibebani atau dipindah tangankan oleh suami
tanpa sepengetahuan istri.

BEBERAPA MACAM PERJANJIAN KAWIN:
A. Dimana tidak terdapat persekutuan harta benda menurut UU:
PERJANJIAN KAWIN DI LUAR PERSEKUTUAN HARTA BENDA.Disini, antara suami istri diperjanjikan tidak adanya persekutuan harta benda sama sekali. Jadi bukan hanya tidak ada persekutuan harta benda munurut UU, tapi juga persekutuan Untung dan Rugi, Persekutuan hasil dan pendapatan serta percampuran apapun dengan tegas ditiadakan. PERJANJIAN KAWIN PERSEKUTUAN HASIL DAN PENDAPATAN (164 BW).Disini, hanya diperjanjikan adanya persekutuan hasil dan pendapat saja, sedangkan persekutuan harta menurut UU tidak ada, hanya untung yang dibagi, kalau rugi, istri hanya turut memikul hingga bagiannya dalam keuntungan, terhadap kerugian selebihnya, istri tidak dapat dituntut. PERJANJIAN KAWIN PERSEKUTUAN UNTUNG DAN RUGI (155 BW).Juga di sini, hanya diperjanjikan adanya persekutuan untung dan rugi saja, sedangkan persekutuan menurut UU tidak ada. Jika dalam Perjanjian Kawin disebut “Di luar Persekutuan Harta” titik maka itu ada persekutuan untung dan rugi. Jika bila dikehendaki juga tidak adanya persekutuan untung dan rugi, maka harus dengan tegas hal itu disebutkan (dalam pasal 1-nya). PERJANJIAN KAWIN DI LUAR PERSEKUTUAN HARTA BENDA.Pasal 139 BW, pasal 29 KUP. Dalam Perjanjian Kawin tidaklah cukup kalau hanya disebut “Perjanjian Kawin di luar Persekutuan” saja, tetapi harus juga dengan tegas disebut tidak ada persekutuan untung dan rugi, jika memang itu dikehendaki.Jika tidak disebut begitu, maka berarti ada persekutuan untung dan rugi (pasal 144 BW).
Dalam Perjanjian Kawin dengan modal ini maka:
1. Tidak ada Persekutuan dalam bentuk apapun juga.
2. Harta masing-masing tetap milik masing-masing.
3. Istri berhak mengurus hartanya sendiri serta bebas memungut hasilnya, tidak perlu
bantuan suaminya.
4. Hutang masing-masing juga menjadi tanggungan masing-masing.
5. Biaya rumah tangga dan lain-lain menjadi tanggungan suami.
6. Perabot rumah tangga dan lain-lain milik pihak istri.
7. Pakaian, perhiasan, buku, perkakas dan alat-alat yang berkenaan dengan
pendidikan/ pekerjaan masing-masing adalah milik pihak yang dianggap
menggunakan barang itu.
8. Barang bergerak lain yang karena hibah, warisan atau jalan lain selama
perkawinan jatuh pada salah satu pihak, harus dapat dibuktikan asal usulnya.
B. Dimana ada persekutuan harta benda menurut UU, tetapi (oleh istri) dikehendaki
adanya penyimpangan.
a. Perjanjian Kawin dengan diperjanjikan pasal 140 ayat 2 BW.
Perjanjian Kawin dengan diperjanjikan pasal 140 ayat 3 BW.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar